
Toyota bZ4X
Ini Langkah Alternatif Dekarbonisasi Buat Indonesia Selain Pakai Mobil Listrik

Tren mobil listrik di Indonesia memang terus mengalami perkembangan. Bahkan ketika pasar otomotif Nasional secara total mengalami penurunan, tetapi untuk segmen kendaraan listrik berbasis baterai (Battery Electric Vehicle/BEV) malah naik terus.
Kendaraan elektrifikasi memang bukan cuma lagi jadi populer di dalam negeri, namun juga hapir seluruh negara di dunia. Sayangnya, elektrifikasi pada industri otomotif sering dianggap sebagai satu-satunya cara dalam upaya menciptakan udara bersih dan dekarbonisasi. Padahal ada cara lain untuk mencapai goal tersebut.
Cyrillus Harinowo, seorang bankir dan ahli moneter memiliki pandangan berbeda. Keresahannya terhadap strategi dekarbonisasi Indonesia, membuatnya berpikir kalau ada cara lain di luar memaksakan pemakaian kendaraan listrik hanya untuk mencapai visi Net Zero Emissions (NZE) yang dicanangkan pemerintah Indonesia.

Salah satu peristiwa yang mendorong Cyrillus menyelami hal tersebut ialah kegemparan yang dibuat Perdana Menteri Inggris Boris Johnson pada 2020. Kala itu Boris pernah menyatakan negaranya akan melarang penjualan mobil konvensional pada 2030 dan hanya membolehkan mobil listrik.
“Satu pernyataan Boris Johnson itu membuat saya berpikir bahwa hal tersebut merupakan sesuatu yang tidak akan bisa kembali lagi atau irreversible. Sementara masyarakat Indonesia sendiri belum sepenuhnya paham mengenai itu,” ungkap Cyrillus dalam pemaparannya di acara Carbon Neutrality (CN) Mobility Event yang diselenggarakan Toyota Indonesia di Jakarta.
Mobil Listrik Masih Hasilkan Gas Karbon

Masih menurut Cyrillus, aplikasi mobil listrik di masyarakat baru bisa terjadi di negara-negara barat. Namun itu pun belum seutuhnya mencapai karbon netral atau NZE. BEV memang tidak menghasilkan emisi sama sekali. Tapi pada saat di charging untuk mengisi ulang daya listrik baterainya, maka situasi itu masih tetap menghasilkan emisi gas buang.
“Ketika ingin men-charging baterainya, bauran energi dari sumber listriknya 80% berasal dari pembangkit listrik yang digerakan oleh bahan bakar fosil (fossil fuel). Berarti mobil listrik itu sebetulnya masih mengeluarkan emisi karbon 87 persen,” jelasnya.
Selain fakta ini, upaya dekarbonisasi sektor otomotif memang serempak dilakukan secara global. Hanya saja, transisi menuju mobil listrik tidaklah mudah, terutama di negara berkembang seperti Indonesia.
Ada beberapa hambatan dalam perkembangan BEV di dalam negeri. Mulai dari harga mobil listrik yang masih di atas mobil ICE (Internal Combustion Engine), kekhawatiran akan jarak tempuh baterai, hingga jaringan infrastruktur pengisian baterai yang masih terbatas.
Baca juga: Menunggu Kehadiran Toyota Vios Hybrid di Indonesia
Ada Banyak Pilihan Bahan Bakar Alternatif

Menyadari ada beberapa tantangan terkait perkembangan mobil listrik, banyak produsen mobil global, termasuk yang beroperasi di Indonesia, mulai mengembangkan Hybrid Electric Vehicle (HEV) dan Plug-in Hybrid Electric Vehicle (PHEV).
Ini dianggap merupakan tindakan paling realistis sebelum beralih sepenuhnya ke mobil listrik. Langkah ini pun dianggap sebagai solusi dari stagnasi dekarbonisasi jika selalu mengandalkan penetrasi mobil listrik. Terlebih dengan perang dagang sengit antara Barat versus China yang memicu pengembangan multiteknologi.
Cyrillus mengungkapkan Brazil merupakan contoh paling tepat buat Indonesia. Negara Amerika Latin itu memiliki kesamaan dengan Indonesia dalam hal sebagai negara berkembang dengan jumlah penduduk yang besar.
Dalam upaya dekarbonisasi, Brazil telah mengadopsi penggunaan bioetanol sebagai bahan bakar kendaraan, yang dihasilkan dari industri gula mereka. Brazil adalah produsen bioetanol terbesar kedua di dunia setelah Amerika Serikat.

Penggunaan bioetanol di Brasil berpotensi mengurangi emisi karbon dari sektor transportasi, yang merupakan penyumbang utama emisi karbon di negara tersebut. Negara tersebut juga mengembangkan biodiesel sebagai bahan bakar alternatif ramah lingkungan untuk diesel, serta mobil flexy hybrid yang menggunakan bioetanol.
Dengan populasi besar dan kesadaran lingkungan yang meningkat menurut dia, Brasil memiliki potensi untuk berkembang dalam industri mobil listrik dan kendaraan ramah lingkungan lainnya.
Sementara bagi Indonesia menurut dia, dengan mempertimbangkan kemunculan tren ragam teknologi dalam dekarbonisasi maka memiliki peluang untuk menguasai rantai pasok kendaraan berteknologi listrik dan mesin flexy. Selain itu, Indonesia dapat memanfaatkan cadangan nikel guna memproduksi baterai listrik yang diperlukan untuk mobil listrik dan hybrid.
Data penjualan mobil di Amerika selama 2023 telah mengkonfirmasi lonjakan signifikan minat masyarakat terhadap mobil hybrid. Kenaikan drastis ini mengindikasikan pergeseran preferensi konsumen menuju kendaraan yang lebih efisien dan ramah lingkungan. Dengan semakin populernya mobil hybrid maka peluang untuk menghadirkan inovasi baru pun semakin terbuka lebar.
Bahkan, segmen LCGC yang selama ini identik dengan mobil berharga terjangkau, kini berpotensi untuk dihadirkan dalam varian hybrid sehingga menandakan bahwa teknologi ramah lingkungan semakin inklusif dan dapat diakses oleh berbagai kalangan masyarakat.

Cyrillus mengungkapkan, secara global saat ini hampir semua sepakat bahwa teknologi otomotif ramah lingkungan tidak semata mobil listrik. Itu tergantung dari masing-masing negara. Norwegia yang listriknya dikatakan hampir 100 persen hijau karena menggunakan pembangkit tenaga air (hydro power), bisa benar-benar ramah lingkungan. Namun sebaliknya bagi Indonesia, justru kondisi saat ini menyajikan banyak pilihan yang sesuai.
“Saya awalnya tidak aware dan dogmatis sekali, pokoknya mobil listrik adalah mobil yang ramah lingkungan. Namun akhirnya menjadi paham bahwa mobil LCGC bisa menjadi ramah lingkungan dibandingkan mobil listrik yang ada. Begitu pula mobil hybrid dan mobil flexy,” tegasnya.
Penerapan paradigma inipun dinilai Cyrillus semakin mendesak, sebab Indonesia dihadapkan dengan target Nationally Determined Contribution alias NDC 2030 sebelum beranjak mencapai visi NZE 2060.
“Kalau kita bicara mengenai NDC 2030, kembali lagi berkaitan dengan pembangkit energinya, itu tinggal lima hingga enam tahun lagi. Jadi dari situ sebetulnya mobil non listrik yang ramah lingkungan masih menjadi pilihan yang harusnya preferable untuk pencapaian NDC 2030, karena bisa 50% carbon free, tetapi gagasan ini seperti melawan arus,” tutupnya.
Baca juga: First Drive Mobil Listrik Toyota C+Pod, Bisa Jadi Rival Kuat Wuling Air ev?
Dituangkan pada Sebuah Buku

Cyrillus Harinowo menuangkan pemikirannya itu dalam sebuah buku berjudul “Multi-pathway for Car Electrification”. Karyanya ini untuk menawarkan perspektif berbeda tentang upaya dekarbonisasi di sektor otomotif. Buku ini memberikan pandangan lain terkait anggapan bahwa mobil listrik (BEV) bukanlah solusi tunggal dalam mengurangi emisi karbon, terutama di Indonesia.
Cyrillus menyusun buku tersebut bersama Ika Maya Sari Khaidir yang juga profesional perbankan. Keduanya menulis sebanyak 26 bab yang menyoroti berbagai perkembangan teknologi mutakhir sektor otomotif dalam upaya mengikis karbon, juga mengulas perjalanan berbagai negara baik Eropa, Amerika, bahkan Asia Tenggara.
Bukan tanpa alasan Cyrillus yang memiliki pengalaman di bidang industri keuangan maupun perbankan itu melakukan riset dan menyusun buku soal otomotif, khususnya yang mengupas tren teknologi otomotif terkini, seperti mobil listrik murni dan upaya mengikis karbon.
Melalui riset pustaka, kajian lapangan, dan penerapan teori, ia mendalami masalah industri otomotif terkini. Dalam buku yang hampir 300 halaman itu, ia berharap dapat memberikan penjelasan yang masuk akal dan berpotensi mendukung keberlanjutan ekonomi, industri, serta masa depan visi NZE.
Baca juga: Pertamina Bangun SPBU Hidrogen, Toyota Mirai Bakal di Jual di Indonesia?

Prasetyo Editor
Menggeluti bidang jurnalistik otomotif sejak 2009 selaras dengan hobinya dalam memodifikasi mobil. Apalagi karakteristik yang berbeda dari setiap kendaraan yang dibuat oleh masing-masing pabrikan, terus menumbuhkan minatnya di dunia otomotif hingga saat ini.
Merek Mobil Terkenal di Indonesia
Berita Terkini
Hyundai Ioniq 5 Berbalut Motif Batik Kawung, Cuma Disediakan 50 Unit!
Fitur dan Interior Jetour X50e EV Terungkap, Atap Panoramic dan Head Unit Lebar
Modifikasi Audio Denza D9 Pertama di Indonesia, Kualitas Makin Mewah Tanpa Potong Kabel
Pameran Kendaraan Listrik PEVS 2025 Diprediksi Lebih Meriah, Target Jualan Rp 400 miliar
Kenali Tanda Ban Mobil Wajib Ganti Sebelum Berangkat Mudik Lebaran
Mobil Rekomendasi
- Populer
- Terbaru
-
Toyota Kijang...
Rp 339,60 Juta - Rp 467,00 Juta
-
Toyota Avanza
Rp 189,80 Juta - Rp 295,80 Juta
-
Honda Brio
Rp 167,90 Juta - Rp 253,10 Juta
-
Daihatsu Sigra
Rp 120,65 Juta - Rp 182,60 Juta
-
Toyota Calya
Rp 170,20 Juta - Rp 190,00 Juta
-
Subaru Crosstrek
Rp 549,50 Juta
-
Chery Omoda...
Rp 334,80 Juta - Rp 493,80 Juta
-
Suzuki Grand...
Rp 359,40 Juta - Rp 384,40 Juta
-
Wuling Alvez
Rp 209,00 Juta - Rp 295,00 Juta
-
Subaru WRX...
Rp 975,50 Juta - Rp 1,03 Miliar